Semenjak Detik Itu

Ketika matahari mengucap “selamat siang semuanya :)”. kulit berasa terbakar. Keringat bercucuran. Pakaian bak handuk bagi seorang perenang. Basah kuyup tak karuan. Baju putih, celana hitam dengan menenteng amplop coklat berisi berkas lamaran pekerjaan.

Berdiam diri, merenung, berbicara sendiri dan mematung terlihat hinggap di pelataran taman. Semakin kepikiran semakin hitam perasaan. Melihat hal itu, alam pun tak tega membakarnya. Awan pun ikut menghitam tiba-tiba. Seakan-akan awan tau apa yang dirasakan oleh orang itu. Dialah Beni.

Melihat semakin hitamnya awan, Beni memutuskan menyembunyikan tubuhnya di sebuah warung bertuliskan “Bu Siti”. Aneh rasanya, padahal siang tadi matahari begitu menyengat panasnya dan sekarang, menjadi hitam secara tiba-tiba. Kata pemilik warung “itu sudah biasa mas, kadang perubahan itu tak pernah kita duga sebelumnya.” Mendengar itu, Beni hanya mengangguk sembari memandang anehnya langit siang ini.

Suara handphone berbunyi. Dari nomor tak dikenal. Diangkatlah telpon itu. “Halo, Assalamualaikum.. siapa ini?”. “Ini aku Sabarudin.”

Tanpa berpikir panjang Beni meloncatkan kemarahannya. “Woii! kemana aja kamu selama ini? hah? gila kamu ya. lihat sekarang? aku jadi pengangguran hanya karna kamu. Sampah kamu ya! Dasar engga tau diuntung! ngapain telpon-telpon segala coba? mau minta maaf? mimpi aja kamu! hah?” Belum sempat menerima jawaban. Beni memutuskan panggilan dan memblokir nomer itu.

Hujan turun begitu deras siang itu. Hujan seakan-akan mengerti perasaan Beni kala itu. Marahnya bak hujan yang menghujam bumi dengan derasnya. Saat minuman datang. Muka masamlah yang terlihat kala itu.

Pemilik warung mencoba mencairkan suasana dengan bertanya. “Maaf mas, sepertinya mas marah waktu telponan tadi. Bahkan sampai sempat-sempatnya mengumpat di tempat saya. kalau boleh tau kenapa ya mas?”

“Eh, maaf bu. Tadi saya terbawa emosi sama orang yang telpon tadi.” Jawabku dengan cara sesopan mungkin. “emangnya ada masalah apa mas?” tanya pemilik warung.

“Dia adalah rekan bisnisku dulu. Dia menjabat sebagai bendahara di perusahaan. Tapi betapa bengisnya dia! Tak ada angin tak ada hujan. Dia mengkorupsi uang perusahaan. Setelah mengkorupsi, dia benar-benar hilang dari kontak kami. Ada yang bilang Ia pergi ke luar negeri bersama Istrinya.”

“Semenjak kejadian itu, perusahaan kami bangkrut dan akhirnya semua karyawan menjadi pengangguran. Contohnya seperti saya ini.”

Mendengar cerita itu pemilik warung mengambil sebuah foto dekat laci warung tempat makanan. “Ini foto rumah ibu sebelum terbakar.” Sembari melihatkan foto kepada Beni. “Sekarang rumah ibu hanya warung kecil ini. Dulu Ibu sedih merasakan hal itu. Ibu pingin membenci. Tapi sama siapa? Sama api? ingat mas, membenci itu engga bakalan pernah menyelesaikan masalah. Yang ada malah membuat beban pikiran mas. dan yang ada masalah semakin menumpuk. iya engga??”

“Kalau ibu kan, disebabkan oleh api. Nah aku? Teman ku sendiri bu, yang melakukan dan Itu dilakukan dengan sengaja.” Jawab Beni.

“Sekarang coba mas pikirin, saat masnya nyari kerja. Masnya lebih suka mikirin kesalahan temen masnya atau sibuk mikirin gimana dapet kerja?” Mendengar perkataan pemilik warung Beni hanya diam.

“Benerkan. Masnya mesti lebih suka mikirin kesalahan temen masnya ketimbang cari kerja. Ingat mas, membenci sesuatu itu akan membuat diri kita terlalu sibuk untuk melakukan pembencian. Ibu bilang gini, karena Ibu menyadari sendiri. Dulu Ibu membenci api karena apilah rumah ibu bisa hangus tak bersisa. Tapi setelah sadar. Ibu tau, semakin membenci maka pikiran tak akan pernah tenang dan masalah pun tak akan pernah selesai. Maka dari itu ibu mulai memaafkan api dan mulai berdamai dengan suasana serta mensyukuri apa adanya. Sekarang apa yang terjadi? Ibu punya warung yang lumayan cukup untuk menghidupi keluarga ibu.”

“Sekarang, dengarkan kata ibu pemilik warung ini mas. Yakinlah, dengan memaafkan maka hati akan lapang dan masalah akan mudah hilang.” Nasihat ibu pemilik warung.

Tersenyumlah Beni kala mendengar nasihat itu dan semenjak detik itu. Beni mulai memaafkan rekannya dan mulai semangat berusaha mendapatkan pekerjaan.

***

Penulis:  Immawan Ahmad Fauzan Ilfat

Photo by Igor Starkov on Unsplash



Posting Komentar

0 Komentar