Nyala di Penghujung Ramadhan

Photo by the dancing rain on Unsplash

“Ramadhan tinggal delapan hari lagi” ucap ustadzah Fina kepada mereka

Dua anak yang ikut tergabung dalam Halaqoh Qur’an itu mengangguk dan saling bersahutan satu sama lain. “iya Zah”.

Mereka saling bertatapan dengan pemandangan yang tak dapat mereka artikan. Serupa kabut yang menyelimuti pandangan. Hanya sekilas, lalu bibir mereka kemudian melengkung, membentuk senyuman. Ustadzah Fina yang memperhatikan hal itu ikut tersenyum melihat keduanya.

“kalau begitu Ustadzah pamit ya, mau siap-siap buka puasa”

“iya Zah”

Selalu tingkatkan hafalan dan bacaannya. Tetap istiqomah ya. Tidak perlu banyak dan terburu-buru yang penting rutin. Tapi jangan jadikan rutinitas, ingat?”

“iya Zah” sahut mereka sekali lagi, berbarengan.

“Kalau begitu ustadzah pamit ya. Wassalamualaikum”

“waalaikumsalam ustadzah”. Tak lama setelah ustadzah pamit. Riri ikutan pergi tanpa mengucapkan salam atau sepatah kata kepada Nyala. Mereka seumuran tapi Riri jauh berbeda dengan Nyala.

Hafalan Riri sudah 4 juz, sedangkan dirinya hanya baru menghafal 2 juz. Tadarus al-Qur’an Riri sudah mau 27 Juz. Sedangkan dirinya masih terbata-bata di surat an-nisa’. Nyala yang merasa sedih karena hal itu menghembuskan nafas berat. Lalu kemudian cabut dari majelis itu.

***

Usai solat tahajud. Nyala merasa tidak mengantuk. Ia sudah beberapa kali mencoba tidur dengan masih mengenakan mukena di badan. Tapi entah mengapa ia merasa tidak mengantuk lagi. Nyala kemudian bangkit dari kasurnya. Mengambil al-Quran diantara buku-buku dalam sebuah lemari kaca di sudut ruangan kamarnya.

Ia teringat dengan Riri yang menjadi teman satu halaqohnya. Riri memang hebat. Pikir Nyala. Bagaimana tidak? Bacaannya amat bagus, hanya sesekali ustadzah Fina mengoreksi. Hafalan Qur’annya juga sudah banyak. Apalagi tadarusnya. Jauh sekali Nyala tertinggal. Sejak pertama memgetahui Riri satu halaqoh dengannya. Ia merasa minder. Sebab dirinya amat berbeda dengan Riri yang ternyata adalah anak dari seorang ustadz terkenal. Sedangkan dia hanyalah anak tukang bakso.

“ya Allah. Jangan jadikan rasa iri ini menjadi penghambatku untuk beribadah kepadamu” ucap Nyala dengan nada bergetar. Tiba-tiba terdapat kapas putih yang segera mencair dari matanya. Ia tergugu di kasur sambil memeluk al-Qur’an.

“ingat selalu ya, fastabiqul khairat” kata-kata yang pernah diucapkan oleh ustadzah Fina terngiang dibenaknya.

***

“Astaghfirullah” teriak Riri. Ia tertidur setelah melaksanakan sholat subuh. Entah mengapa tadi malam ia tidak bisa tidur. Teringat akan sikapnya kepada Nyala yang terbilang dingin. Ia langsung pergi begitu saja... sebenarnya Ia tidak bermaksud menjauh. Hanya saja dirinya tidak nyaman dengan sikap Nyala yang selalu memujinya setelah Halaqoh selesai.

“Riri hebat ya, beda jauh sekali dengan Nyala” ucap Nyala saat itu.

Riri yang mengingat kejadian itu hanya bisa tertunduk. Ia memang tidak suka dipuji. Sebab saat mendapat pujian  Riri merasa ada cermin yang memperlihatkan kebalikan dari cermin itu. Ia merasa seperti bulan. Di hadapan Nyala dan ustadzah Fina. Ia berusaha memperlihatkan dirinya dalam versi terbaik.

Ia seperti bulan yang memiliki sisi kelam dibalik dirinya yangg bercahaya. Sisi yang tak dilihat dan tidak terlihat oleh Nyala, bumi yang selalu bilang kagum kepadanya. Bukankah dari bumi bulan selalu terlihat cantik? Tahukah bumi bahwa dibalik kecantikannya terdapat sisi kelam bulan?

Dalam kesendiriannya, Riri terkadang merasa iri kepada Nyala. Setidaknya Nyala bebas menghafal karena dirinya sendiri. Bukan karena ekspetasi dari orang lain. Ekspetasi dari ayahnya yang seorang ustadz. Ekspetasi dari orang-orang yang selalu bilang “anak ustadz Syafi’i, pasti anaknya baik dan hafal al-Qur’an.

Sejujurnya ia hanya menghafal al-Qur’an karena tanggung jawab anak seorang ustadz. Berbeda sekali dengan Nyala yang terlihat penuh niat dan cahaya ketulusan selama menyetor hafalannya. Meski terbata, Nyala tidak pernah berhenti untuk terus berusaha dan belajar.

Riri kemudian bangkit dan memutuskan untuk membaca satu halaman saja. Kali ini ia akan menghafal demi dirinya sendiri. Tidak apa-apa sedikit dibandingkan biasanya. Yang penting rutin dan berulang. Biasanya ia membaca al-Qur’an pada pagi hari saja, tapi langsung 1 juz. Jadi ia tidak perlu membaca pada siang hari atau malam hari. Tapi subuh itu berbeda.

“bukankah Allah mencintai amalan ibadah yang sedikit tapi sering?” tanya Riri kepada diri sendiri.

***

Sore hari kembali menjelang. Ustadzah Fina kembali bertemu dengan dua anak halaqoh al-Qur’an yang dibimbingnya. Siapa lagi kalau bukan Nyala dan Riri. Tapi kali ini amat berbeda dengan hari  yang lalu. Dua anak itu terlihat cerah, senyum mereka mengembang jauh lebih indah dibanding biasanya. Meski hanya lewat virtual, ia dapat merasakan Ghirah yang sangat kuat dari pancaran mata mereka. Entah apa yang terjadi antara keduanya. “MasyaAllah. Wajah kalian terlihat bercahaya sore ini, seperti...”

“seperti apa Zah?” tanya Nyala.

“seperti bidadari surga” sorak ustadzah Fina.

***

Mereka bertiga tertawa serempak. Suasana menjadi lebih cair dari biasanya. “Tidak apa-apalah sedikit tertawa, yang penting masih ada semangat dan iman di dada kita semua” kata ustadzah Fina. Memasuki penghujung Ramadhan, majelis Qur’an itu kembali hidup bahkan lebih hidup meski hanya lewat virtual. 

Penulis: Immawan Ihsanul Fikri

Posting Komentar

0 Komentar