Tunggu, Apakah Ini Giliranku?

Oleh: Dhini Wahyu Ningtyas
Gambar seorang pria sedang duduk memandangi langit (doc. pexels)


Lagak diri yakin telah lihai membohongi semesta perihal kuat atas kehilangannya, namun nyatanya hujan turun tak berkutik dengan sendirinya. Ia luluh dengan ketulusan diiringi kejujuran. Kegundahan dan kegelisahan hatinya tergambar jelas didepan sana. Orang-orang di masa kini sibuk mengatakan bahwa masa lalu biarlah menjadi masa lalu, namun aku tetap saja sibuk mengenangnya karena hanya itu yang bisa aku lakukan. 

Apakah aku yang masih belum selesai dengan dirinya? Atau kenangan itu yang bersalah karena begitu indah jauh di dalam sana? Aku tahu aku tertinggal. Duniaku berhenti dimasa itu, dan aku hanya sibuk mengenang hari itu disaat orang-orang sibuk memikirkan masa kini dan masa depannya. Lalu aku? Menyedihkan.

Tuhan, tolong aku. Bantu aku untuk menemukan jawabnya. Mengapa aku masih terus merindu, menangis, mengingat, mengenang, menyesali, tersakiti, dan hampir bunuh diri atas apa-apa yang terjadi di masa lalu. Mengingatnya saja, begitu menyiksaku. Anehnya, aku tak ingin melepas masa dan kenangan itu, masa dimana aku mencari jalan, masa dimana aku hampir tersesat, masa dimana aku begitu hampa diatas kesepian. 

Kemudian aku ditemukan dengan seorang malaikat yang dikirim Allah kepadaku. Malaikat itu datang dengan ketulusan dan kelembutan hatinya untuk menyelamatkanku dari jurang yang begitu dalam dan menyeramkan. Aku tahu, sebentar lagi aku akan mati, karena aku sudah tersesat oleh lubang yang hampir tertutup. Namun, malaikat itu mengulurkan tangannya kepadaku. Ia datang untuk menyelamatkanku dari dunia yang begitu gelap, ia mendekapku dengan begitu erat. 

Hangat rasanya, kehangatan yang sebelumnya tak pernah aku dapat dan rasakan saat itu akhirnya aku dapatkan. Ya Allah, beginikah rasanya? Beginikah rasanya jauh dari sepi, beginikah rasanya ada yang menopang, mendengar, mengerti dan memahami. Betapa bersyukurnya aku di masa itu. Masa dimana seluruh cinta dan kasih sayang kudapatkan dari orang-orang sekitarku.

Ku panggil ia Bunga, karena harumnya datang memberiku kehangatan, warnanya memberiku kehidupan, juga tangkainya memberiku kekuatan. Kepada bungaku, terima kasih untuk cinta kasih, keyakinan, dan pelukan indahmu dalam hari-hariku. Terima kasih telah memeluk dengan lekat sebuah sepinya luka dan duka yang berangsur pergi jauh dari hidupku. 

Serta, terima kasih telah membawaku dekat dengan Tuhanku. Dia telah mengirimmu sebagai cahaya penerang dalam gelap tak menentu. Bunga, yakinlah. Kemanapun bunga akan pergi, akan kau temui cinta dan ketulusan yang sama seperti yang telah kau berikan untukku.**

Posting Komentar

0 Komentar