![]() |
foto bersama PK IMM Jendsoed periode 2024 (foto: IMM Jendsoed) |
IMM dengan tujuannya “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlaq mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah” memiliki peran strategis untuk membentuk mahasiswa yang sesuai dengan karakter islam dan muhammadiyah, artinya IMM memiliki peran penting dalam membentuk moral, intelektualitas, religiusitas dan kepedulian sosial kadernya.
IMM memiliki cita-cita untuk menjadikan kadernya sebagai “masyarakat ilmu”, hal tersebut tertuang dalam 6 penegasan IMM-bahwa IMM adalah Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah, artinya setiap ilmu yang diperoleh harus diamalkan dan setiap amal yang dilakukan harus berdasarkan ilmu. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, sudahkah IMM hari ini sesuai dengan tujuan dan cita-citanya, dan sudahkah IMM mengusahakan kedua hal tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus menelisik gerakan akar rumput IMM yakni IMM di tingkat komisariat, karena dari tingkatan inilah kader lahir dan dibesarkan. IMM dalam tingkat komisariat diberi amanah untuk menanamkan ideologi kader. Ideologi IMM seharusnya tertanam dan mampu menyentuh alam bawah setiap kader.
Namun realitanya masih banyak kader yang malu menampakkan identitas dirinya sebagai IMM, bangga memakai jas merah adalah keniscayaan, lagi-lagi hal ini karena kader terjebak dalam permainan kata “minoritas” yang sedari awal digaungkan. Saat ini IMM sibuk menggelar kaderisasi tapi lupa menanamkan ideologi pada kadernya. Apakah ini merupakan sepenuhnya kesalahan komisariat? Tentu tidak, semua pihak yang berkaitan dengan IMM bertanggung jawab untuk merawat kader.
Cita-cita IMM untuk menjadi cendekiawan berpribadi tampaknya tidak bisa berjalan mulus, karena kadernya sendiri tidak paham makna dari cendekiawan berpribadi. Seorang cendekiawan itu mampu menjunjung tinggi dan mengaplikasikan 3 unsur penting, yakni aqidah, intelektual dan kemanusiaan.
Sebagai seorang yang cerdik ia memiliki mental yang siap dan kesadaran sosial yang tinggi untuk melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya membangun di tengah masyarakat. Dan berpribadi yang dimaksud disini adalah seorang yang memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing.
Ijtihad politik ugal-ugalan yang dilakukan DPP IMM dengan membuat arak-arakan dan dengan bangga menyanyikan yel-yel “Assalamualaikum mas kaesang, IMM datang membawa pasukan” ditambah dengan menggunakan atribut IMM adalah salah satu contoh saat ini IMM jauh dari cita-citanya menjadi Cendikiawan berpribadi. Alih-alih mendiasporakan kader terbaik IMM malah justru mengemis untuk terlibat dalam politik praktis.
Realita lainnya yang terjadi saat ini, mahasiswa lebih memilih sibuk menunduk dan berdzikir dengan ponsel pintarnya dari pada berproses untuk meningkatkan wawasan mereka. Mahasiswa saat ini sudah sangat pragmatis, dari pada melakukan kerja yang tak dibayar dan harus menyebar proposal yang belum tentu cairnya mereka lebih memilih melakukan kegiatan yang menghasilkan. Kenyataannya, pemikiran seperti itu kian muncul bila mahasiswa tidak tau apa yang dicari di IMM untuk dirinya.
Seperti petuah yang disampaikan Buya Hamka “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera di hutan juga bekerja”. Kader IMM harus mulai mencari makna dan value dalam ber-IMM dan menebar kebermanfaatan dengan berlandaskan ilmu jangan sampai seperti babi dan kera yang sekedar hidup dan bekerja.
IMM sebagai laboratorium moral dan intelektual menjadi harapan untuk melahirkan cendekiawan muda yang berakhlaq mulia. Penting bagi IMM untuk kembali pada kiblatnya yakni melakukan gerakan intelektual. Sudah saatnya IMM menyiapkan kadernya untuk menjadi generasi emas 2045. Semoga tulisan ini tidak di pandang sekedar kritik belaka namun juga menjadi renungan.
Penulis: Febita Gita (Sekretaris Umum PK IMM Jenderal Soedirman 2024)
0 Komentar