Kala Nanti

Oleh: Aisha Veranda Kartika 


Ilustrasi seorang laki-laki terduduk dengan banyak anak panah mengarah kepadanya (doc. Pixabay/geralt)

Layar proyektor yang menyorot pada tembok ruangan kelas tampak berkedip-kedip tak beraturan, serasi dengan kondisi siswa-siswi di dalamnya. Sepuluh menit lalu, setelah kembali dari gedung serbaguna sekolah, raut mereka dihantui kecemasan akan kepastian mimpi yang sebelumnya pernah diinginkan.

SMA N 1 Tunjal hanya sebuah sekolah kecil yang terseok-seok bersaing dengan sekolah-sekolah swasta favorit di kota yang sama. Meski demikian, alumni dari sekolah dengan bangunan tua itu tetap bisa menjejaki posisi bergengsi diberbagai sektor pekerjaan. Rasa bangga dengan jelas mereka perlihatkan pada  kegiatan sosialisasi yang belum lama usai. Yang tanpa disadari, bayangan panjang hasil potret-potret keberhasilan tersebut justru membayangi generasi selanjutnya, dan perlahan menumbuhkan rasa keputusasaan.

Goresan kecil tertulis di meja kayu tempat kepala Zaka bertumpu, kertasnya masih kosong sejak puluhan menit lalu. Berbeda dengan teman sebangkunya, Alen, sibuk mencoret apa yang sudah ia tulis, menulis sesuatu yang lain, dan mencoret lagi. Akhirnya pena itu hinggap di daun telinga yang sedari tadi berdenging sebab riuh rendah para siswi.

Walaupun tampak lebih optimis, sebetulnya lingkaran yang mereka buat ialah bentuk perlindungan satu sama lain. Dibentuknya pagar lutut rapat seakan mencegah ucapan semangat dan lontaran kalimat saling menguatkan agar tidak bocor dari barisan.

Setelah tiga tahun terdengar, dering bel pulang tak lagi disambut girang, hingga sang ketua kelas mengetuk papan tulis 3 kali dan menempatkan diri di hadapan seluruh teman-temannya. Tatapan laki-laki itu seakan berbinar karena pantulan cahaya dari ponsel digenggamannya.

“Kabar baik teman-teman! Tugasnya take home dan pengumpulannya diperpanjang sampai hari Kamis. Jadi kalau kalian yang mau pulang sekarang, silahkan.”

Sorak kelegaan terdengar bersahut-sahutan, walaupun mereka hanya menunda dan bukan berarti telah menyelesaikan rencana rumit dalam isi kepala.

“Kok dicoret?” 

Zaka menunjuk pada ‘guru’ yang ditulis oleh Alen

“Realistis, Ka. Guru nasibnya ngenes! Cara bertahan hidup apa yang mau kupakai nanti? Paling dapat tambahan tiap lima tahun sekali, gorengan pesta demokrasi.”

“Betul banget, Len. Super betul!” Fayaz, sang ketua kelas berdarah setengah biru itu ikut menimbrung. “Polisi juga kenapa kamu coret?”

Alen menaikkan sebelah  alis tebalnya sembari menahan tawa “Polisi? perlukah aku jawab?”

Mereka bertiga tergelak, mengabaikan siswa-siswi lain yang satu-persatu mulai meninggalkan ruangan.

“Padahal cuma tugas menulis cita-cita, ternyata susah juga...” Zaka menyamankan tubuhnya pada sandaran kursi sebelum kemudian mengalihkan pandang pada Fayaz

“Kalau jadi kamu enak ya, seenggaknya sudah punya modal dana sama relasi. Ada peluang buat jadi wirausaha, atau kamu jadi penerus perusahaan Ayahmu juga bisa, kan?”

Fayaz menggeleng pelan.

“Manajemen bisnis sama sekali nggak gampang, banyak unsur  yang aku nggak bisa, aku kurang ilmu. Bahkan dari kecil aku diawasin ketat supaya nggak bikin masalah. Kalau aku bikin masalah, bisnisnya papaku juga bisa ikut kena. Kayak tulisanmu sendiri lho Ka,”

Jari telunjuk yang mengarah pada goresan ‘Sawang Sinawang’ itu kemudian Fayaz turunkan lagi “Nggak ada yang lebih beruntung di antara kita, semuanya sama saja karena-“

“Karena kita WNI”

Celetukan Vega memotong ucapan Fayaz, perempuan berpenampilan tomboy itu mendekat memamerkan kertasnya. 

“Punyaku sudah jadi, pak Ketua!”

Fayaz mengambil kertas itu dan membacanya, ia kemudian menoyor kepala Vega main-main.

“Serius heh! Memang kamu sudah punya calon? Sudah ada rencana? Nikah mulu yang ada dipikiranmu!”

“Lho, serius! Kamu baca deh rinciannya. Kalau nikahnya masih sekitar dua tahun lagi, tapi aku sudah bikin usaha kecil-kecilan sama calon suami buat tabungan biaya nikah kami nanti,” 

Tangan Vega mengobrak-abrik isi tas untuk meraih  ponselnya, supaya ia bisa memamerkan foto seorang laki-laki yang terpampang di sana.

“Usia dia lebih tua empat tahun dariku sih, tapi yang penting kan aku sudah punya rencana, daripada kalian? Wlee!”

Vega menjulurkan lidah sambil menempatkan jempolnya di kedua pipi, sedangnya empat jari lain ia lambaikan cepat.

“Nggak kamu doang ya Vega, punyaku juga sudah jadi.” 

Adisti mendekat setelah ia mengemasi proyektor, tangan yang dibalut plester-plester luka itu terulur menyerahkan kertas tugasnya pada Fayaz.

“Kalau sudah jadi dokter nanti, bisa-bisa waktumu habis buat ngobatin diri sendiri” Alen mencibir

“Siapa bilang aku masih mau jadi dokter?” Adisti berkacak pinggang “UKT tinggi, peralatan mahal, senioritas, duh! Mana kuat diriku!”

“Terus terus, yang kamu tulis apa? Apoteker? Penyuluh kesehatan?" Zaka mulai menebak, sehingga diikuti oleh yang lain.

“Salah!” Adisti tersenyum simpul

“Guru IPA?”

“Bidan?”

“Psikolog?”

Gelengan Adisti berhenti kala semuanya berkata “Pas” terkecuali Fayaz, ia memandang Adisti heran.

“Aku linjur ke soshum”

Jawaban itu membuat ketiganya melongo, sedetik kemudian cepat-cepat merapat pada lembaran kertas putih di tangan Fayaz.

“Sudah sih kita nggak usah muluk-muluk. Kalian juga sadar kan kalau kriminalisme akhir-akhir ini marak banget. Seandainya aku mati muda karena dibakar sewaktu mau beritain kasus korupsi, atau kena tembak ketika meliput aksi demo, seenggaknya aku lagi ngelakuin hal yang aku suka. Aku suka ngomong dan aku pengen bisa jadi berguna di negara yang udah terlalu amburadul ini”

‘Jurnalis’ pada kertas itu tertulis dengan rapi, penuh ketegasan.

“Tapi Adisti, kamu perempuan”

“Anak tunggal”

“Nggak punya backingan pula”

“Dis, aku bangga bisa temenan sama orang seberani kamu. Tapi, tenggat akhirnya hari Kamis kok, kamu masih punya waktu buat diskusi bareng keluargamu. Jadi, bawa pulang, ya?” Fayaz menyodorkan kertas ditangannya.

Adisti yang mendapat pandangan menuntut dari keempat temannya, terpaksa kembali menggenggam kertas miliknya dengan berat hati.

Suasana berubah menjadi hening, bahkan suara jarum jam dapat mudahnya menerobos masuk pada celah-celah ruang kelas yang makin gelap itu. Fayaslah yang pada akhirnya mengetuk pelan meja kayu di hadapan mereka, memandangi satu-persatu wajah yang sudah teramat ia kenali.

“Teman-teman, aku tahu kalau nyusun rencana masa depan itu nggak mudah, apalagi kita juga kurang diberi materi tentang decision making, kurang riset, kurang sesuai ngelihat realita dengan mimpi kita sewaktu kecil. Tapi mau bagaimana lagi? kala nanti, kita cuma bisa memetik hasil kita sendiri.”

Hingga suara satpam terdengar menginterupsi kelima siswa itu untuk segera pulang, tak satu pun pena kembali digoreskan, tak setetes pun tinta jatuh pada lembaran kertas yang masih lapang, tak seorang pun menunjukkan raut wajah penuh harapan.**

Posting Komentar

0 Komentar