Anak Durhaka

Bangun di pagi hari yang indah tidak selalu menjadi sesuatu yang indah. Daftar tugas kuliah yang masih menunggu diselesaikan tampak sudah tak sabar. Mungkin telah jenuh menempel di dinding semenjak seminggu lalu dan hanya dapat melihat kamar pengap persegi dengan tiga perabot : lemari, kasur, meja.

Akan tetapi bukan tugas kuliah menumpuk yang membuat pagi indah ini tidak lagi terasa indah. Baru saja, sehabis salat subuh, aku mendapat kabar dari Mak Etek di kampung. Sahabat karibku semenjak di kampung hingga kuliah, Rizal, mendapat musibah sebelum subuh.

Sembari mempersiapkan diri untuk berangkat ke rumah sakit, kembali teringat perihal Mak Etek di kampung. Berurai tangis beliau bercerita, anak sulungnya jatuh di tangga indekosnya. Kepalanya berlumuran darah. Dia juga pingsan saat itu jelas Mak Etek di sela tangisnya yang masih terngiang di langit telingaku.

Aku maklum betapa sedih dan cemasnya Mak Etek di kampung, anak tersayang kecelakaan di negeri orang, negeri seberang lautan. Butuh dua hari dua malam untuk sampai dengan transportasi darat.

Pagi ini Mak Etek bersama Pak Etek akan berangkat dari kampung menggunakan bus. Jadi, sembari menunggu Mak Etek dan suaminya sampai di sini, aku yang akan menjaga Rizal. Dan untuk daftar tugas kuliah, bersabarlah terlebih dahulu, dua hari lagi, sehari sebelum deadline akan kugarap. 

Rumah sakit tempat Rizal dirawat cukup jauh dari indekos milikku, butuh setengah jam perjalanan kaki. Sebenarnya, aku cukup suka berjalan untuk pergi ke suatu tempat. Bukan demi kesehatan jasmani, tapi demi kesehatan saku. Akhir-akhir ini, sakuku memang sering tidak sehat

Akan tetapi, pagi ini aku tidak akan berjalan kaki. Pagi ini aku akan menyewa jasa jemput dan antar sampai tujuan, ojek online. Keputusan berat memang. Aku harus kehilangan sebelas ribu rupiah. Tapi tidak mengapa, hanya untuk kali ini.

Saat tiba di rumah sakit, aku sempat bingung dalam menentukan arah. Setelah bertanya kepada satpam, perawat, pengunjung, dan berkeliling mencari ruangan, aku temukan ruangan tempat Rizal dirawat. Sebuah ruangan putih yang di dalamnya ada sekitar  4 orang pasien?. Cukup sukar menerka jumlah pasien di sebuah ruang rawat inap kelas tiga rumah sakit. Di dalam ruangan memang ada 4 tempat tidur. Namun setiap tempat tidur tidak hanya dihuni satu orang.

Di sudut sebelah kanan dekat jendela aku melihat temanku berbaring dan tampaknya dia tidak pingsan seperti kabar dari Mak Etek tadi pagi. Wajahnya juga tidak semenyedihkan pasien yang baru melewati situasi hidup dan mati. Namun dia tidak menyadari kehadiranku. Terlalu fokus pada layar gawai di tangannya.

Karena cukup merasa dibohongi, aku tidak terima dan memrotes, “kenapa penyakitnya tidak parah?, Kabarnya sampai berlumuran banyak darah dan pingsan?.” Tanyaku. 

Seketika dia menoleh, lalu cengengesan, “Hehehehe”. Cengengesan khasnya itu yang tidak pernah berubah dari dulu. “Iya, banyak darah tadi, tapi tidak begitu banyak. Dan kata dokter tidak menyebabkan kekurangan darah”. Jelasnya dengan muka cengengesannya.

“Yang bagian pingsan?” tanyaku lagi. 

“Karena ketakutan melihat banyak darah, mungkin?” mendengar kalimat tidak yakinnya itu, membuatku membalasnya dengan pandangan tidak yakin pula.  “kata dokternya begitu”. Lanjutnya menjelaskan

Akhirnya aku tertawa dan duduk untuk mengistirahatkan kaki setelah berkeliling rumah sakit di kursi yang ada di samping tempat tidur. Bersyukur karena sepertinya dia masih sehat dan tidak ada perubahan apa-apa kecuali dahinya yang dijahit.

Saat berbincang dengan Rizal, aku bertanya tentang jumlah pasien di ruangan kelas tiga tersebut. Aku masih penasaran. Jangan-jangan pasiennya hanya satu orang, selebihnya orang yang menjenguknya.

Dan benar saja. Kata Rizal, termasuk dirinya hanya ada dua pasien di ruangan itu, selebihnya “Pasien jadi-jadian”. Aku sempat terpingkal mendengar istilah yang digunakan Rizal, pasien jadi-jadian. Tapi memang demikian, siapa yang tahu kalau dia memang keluarga pasien?. Bisa saja orang antah berantah yang sedang dalam perjalanan, dan beristirahat di rumah sakit karena tidak mau menyewa penginapan. Bisa saja.

Karena tidak begitu parah, Rizal sudah boleh keluar dari rumah sakit hari ini. Dan untuk biaya yang di sinetron-sinetron disebut “ Biaya administrasi” tidak perlu kami cemaskan. Ada BPJS kesehatan, jadi kami bisa tenang. Kami pulang ke kosan milik Rizal sehabis salat zuhur.

Saat sudah berada di kosan milik Rizal, aku teringat hal penting. Mak Etek dan Pak Etek sedang dalam perjalanan ke sini dan belum aku beri kabar mengenai Rizal. Namun, aku tetap berpikir positif, mungkin anak mereka tercinta sudah memberi kabar kalau dia sudah baik-baik saja.

Namun harapan tidak dikuti kenyataan, ternyata Rizal cukup durhaka dan tidak memberi kabar orang tuanya. Kabar tadi pagi pun bukan dari lidahnya, tetapi petugas rumah sakit yang menelepon menggunakan gawai miliknya. “Biar emak kesini dan kita bisa sedikit foya-foya nanti”, kata Rizal sambil cengengesan saat kutanyakan perihal kedatangan Mak Etek dan Pak Etek. Dasar anak durhaka


Oleh: IMMawan Ihsan Awliak

Posting Komentar

0 Komentar