![]() |
| Foto bersama usai kegiatan (doc. Medkom/PK IMM Jenderal Soedirman) |
Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik (HPKP) bersama dengan Bidang IMMawati PK IMM Jenderal Soedirman menggelar bedah buku diskusi publik bertema "Tragedi 1998 & Lahirnya KOMNAS Perempuan" yang berlangsung di samping Auditorium kampus 3 UIN Walisongo, Rabu (08/10).
Kegiatan ini membedah sebuah buku karya Dewi Anggraeni yang berjudul "Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan" oleh pemateri dari Sekretaris Bidang HPKP, Nazmi.
Mulanya, forum membahas mengenai esensial kesadaran politik, perputaran uang masa pemilihan presiden, politik uang, dan pembungkaman aspirasi rakyat.
Peserta juga diajak menelaah kembali kondisi Indonesia yang kala itu mengalami keterbatasan penyebaran informasi, monopoli pasar, dan krisis keuangan Asia 1997 sebagai titik awal krisis moneter Indonesia.
Konflik ekonomi, politik, tragedi Trisakti, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah menjadi penyebab terjadinya tragedi Mei 1998 yang merugikan banyak pihak, terutama perempuan Indonesia berdarah Tionghoa.
Dipicu oleh kemarahan rakyat yang terakumulasi selama bertahun-tahun lamanya, kerusuhan mulai terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surakarta (Solo). Muncul sentimen rasial terhadap warga etnis Tionghoa sebagai target pemerkosaan, pembunuhan, dan mutilasi.
Nazmi juga menyoroti ucapan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyebut ketiadaan bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan massal, dalam proyek penulisan ulang sejarah yang sedang dilakukannya. Ucapan ini melemahkan narasi pelanggaran HAM berat dari ruang publik.
"Pemerintah sekarang kan lagi menulis ulang sejarah, sejarah ini mau dihapus." ujar Nazmi
Berhubungan dengan kurangnya bukti saat itu, kepercayaan Presiden B.J. Habibie menjadi parameter penting kesadaran akan tragedi 1998. Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan KOMNAS Perempuan, menjadi perwujudan kepedulian terhadap para korban.
Ketua umum komiariat IMM Jenderal Soedirman, Annas Albara, mengingatkan kembali peran kader IMM yang semestinya mengikuti Nilai Dasar Ikatan (NDI).
"Segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenanganan kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM perlawanan terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM."
Lebih lanjut, diskusi publik ini juga membahas mengenai dampak kekerasan, kesetaraan gender, kesenjangan sosial, dan dialog kritis terhadap cara kerja sistem demokrasi di Indonesia.
Redaksi

0 Komentar
Tinggalkan jejakmu untuk kami~