Adakah Kartini di Dalam Tubuh Immawati?



Diantara organisasi keperempuanan yang dibentuk oleh Muhammadiyah, salah satu yang menjadi sorotan adalah Immawati. Dimana Immawati sendiri dihidupkan oleh mahasiswi-mahasiswi yang tergabung dalam IMM. Mereka adalah puan-puan yang memiliki pengetahuan intelektual yang luas dalam keilmuan maupun keislaman sekaligus sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan kemanusiaan layaknya kartini.

Ketidaksetaraan gender yang disebabkan oleh budaya patriarki melahirkan banyak gerakan yang diusung oleh mereka yang merasa tidak mendapatkan keadilan. Sehingga mereka menuntut apa yang disebut sebagai kesetaraan gender ditengah kukuhnya  sistem dunia yang menganut patriarki tersebut, dimana laki-laki adalah puncak kekuasaan dan memegang peran penting baik dalam tingkat kehidupan sosial maupun politik.

Salahkah bila kita menyebut mereka perempuan?

Dibalik adanya perdebatan penggunaan kata “wanita” dan “perempuan” yang seringkali  memunculkan polemik hingga perdebatan. Untuk lebih lanjut mari kita gunakan istilah “puan” yang jarang digunakan oleh banyak akedemisi karena kata ini terbilang sedikit “puitis” sehingga banyak digunakan oleh pujangga maupun penyair.

Di dalam keadaan sulit, terkadang memang melahirkan sosok pahlawan dan pahlawan memang seringkali datang pada masa-masa sulit. Dibalik gencarnya perjuangan puan menuntut hak mereka hingga melahirkan gerakan feminisme dengan tujuan yang terkadang abstrak dan banyak disalahgunakan oleh berbagai kelompok. Sebut saja feminisme yang menyuarakan LGBTQ, Free seks dan semacamnya yang bertentangan dengan norma dan etika manusia. Lebih jauh sebelum itu kita tentunya mengenal  seseorang yang pada tanggal 21 April selalu diperingati. Panggil saja ia Kartini. Seorang pahlawan dari kalangan puan.

Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat, itulah nama lengkap dari sosok pahlawan yang gencar memperjuangkan “emansipasi puan”. Kartini hidup di masa puan pribumi sangat sulit untuk merasakan kebebasan. Ada banyak persoalan yang disaksikan oleh kartini pada saat  itu. Sebut saja Pendidikan, kesenian, Kesehatan, kedudukan dan sebagainya. Pandangan yang luas dan mendalam tersebut tak lepas dari dirinya yang bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Sayangnya, karena adat istiadat pada saat itu mengharuskan puan “dipingit” kartini pun berhenti sekolah pada umur 12 tahun.

Kartini adalah sosok puan yang terlahir dari keluarga bangsawan. Ia lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Karena usahanya yang mempelopori gerakan kesetaraan dan emansipasi puan. Hari lahirnya pun diabadikan  menjadi hari libur nasional dan Kartini dinobatkan sebagai pahlawan nasional  menurut Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964 yang diputuskan oleh Presiden pertama indonesia Ir. Soekarno . Dalam perjuangannya, setidaknya secara garis besar ada tiga hal yang diperjuangkan oleh kartini. Yaitu emansipasi, dimana kartini sering berkirim surat kepada sahabat penanya Estelle “Stella” Zeehandelaar di eropa dan menggambarkan bagaimana penderitaan kaum puan di Jawa. Kedua, adalah Pendidikan, kartini mendirikan “Sekolah Gadis” di daerah Jepara juga mengusulkan adanya mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa melayu dan Bahasa belanda. Yang ketiga adalah kebangsaan, yaitu dengan berani meminta belanda mengubah politiknya dan memberikan pembaharuan kepada masyarakat, menuntut pemerintahan Belanda menghapus perdagangan opium dan lain sebagainya

Meski kartini telah meninggal karena terjangkit penyakit ginjal pada tanggal 17 September 1904 namun perjuangannya dapat dikatakan telah berhasil. Saat ini, sedikit demi sedikit, banyak puan sudah mulai bekerja, berani mengemukakan pendapat hingga menjalankan perannya sebagai seorang puan dengan semesti dan sebebasnya. Kemudian, bermunculan sosok-sosok kartini di dalam masyarakat, dunia Pendidikan dan lain-lain. Organisasi keperempuanan pun tak luput dibentuk untuk mewadahi puan yang sudah mendapatkan peranan penting dalam srata sosial.

Salah satu contohnya adalah organisasi muhammadiyah yang melahirkan organisasi keperempuanan seperti AISYIYAH dikalangan ibu-ibu, ada juga NASYIATUL AISYIYAH untuk kalangan ibu-ibu muda dan kemudian IMMAWATI yang dari kalangan mahasiswi yang berproses di Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM).

Diantara organisasi keperempuanan yang dibentuk oleh Muhammadiyah, salah satu yang menjadi sorotan adalah Immawati. Dimana Immawati sendiri dihidupkan oleh mahasiswi-mahasiswi yang tergabung dalam IMM. Mereka adalah puan-puan yang memiliki pengetahuan intelektual yang luas dalam keilmuan maupun keislaman sekaligus sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan kemanusiaan layaknya kartini.

Namun pertanyaannya adalah, apakah di dalam tubuh seorang immawati terdapat sosok kartini yang tanpa lelah memperjuangkan identitas diri dan bangsanya? Jika puan adalah tonggak utama dalam sebuah bangsa. Maka Immawati adalah pilar dari pergerakan IMM. Maka, penting rasanya jika jiwa kartini melekat ke dalam diri seorang Immawati sehingga nilai-nilai dan tujuan  yang terkandung di dalam IMM dapat tercapai. Sehingga Immawati tidak hanya gelar semata, tapi memiliki bukti eksistensi yang nyata.

Pada saat sekarang ini, Immawati sebagai sosok kartini masa depan menghadapi tantangan yang tak kalah berat. Zaman telah berubah dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat sehingga membuat banyak kaum muda terlena, begitu juga dengan Immawati. Immawati seharusnya  memperjuangkan nilai-nilai moral yang makin tergerus oleh globalisasi, bukan malah terkontaminasi.

Immawati seharusnya menulis, membaca, berkarya untuk mencerdaskan dan menjadi pelopor dari perubahan dengan keilmuan yang dimilikinya. Immawati seharusnya ikut berpartisipasi Bersama IMM untuk mewujudkan cita-cita dan arah gerak muhammadyah. Sebab di dalam tubuh ikatan tidak ada “Immawati Immawati Manja” melainkan sosok kartini. Muslimah-muslimah yang terus berjuang agar tetap anggun dalam moral, unggul dalam intelektual, fastabiqul khairat, dan abadi dalam perjuangan.


***

Ditulis Oleh: Immawan Ihsanul Fikri

sumber pict: disini

Posting Komentar

0 Komentar